• Posted by : Maggie DL Rabu, 09 September 2015


    I. LATAR BELAKANG

    Perairan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, baik dari segi jenis maupun volume produksinya. Udang dan kepiting merupakan komoditas yang penting bagi hasil perikanan Indonesia dan memainkan peranan yang penting dalam ekspor perikanan Indonesia. Produksi udang dan kepiting terus meningkat dari tahun ke tahun.

    Industri pengolahan hasil krustacea khususnya udang dan kepiting merupakan industri yang terus meningkat dari tahun-ke tahun. Hal ini tentu akan disertai dengan meningkatnya limbah yang dihasilkan, khususnya kulit udang, kepala udang dan cangkang kepiting.

    Pengolahan udang dan kepiting merupakan kegiatan pengolahan yang cukup banyak menghasilkan limbah. Pada umumnya udang diekspor dalam bentuk beku tanpa kepala atau tanpa kepala dan kulit. Sedangka kepiting diekspor dalam bentuk daging beku. Selain limbah udang berupa kulit dan kepala udang, limbah cangkang kepiting masih merupakan masalah yang perlu dicari pemecahannya. Salah satu pemanfaatan limbah krustacea tersebut adalah pengolahan menjadi khitin, khitosan dan karotenoid.

    Menurut Johnson dan Peniston (1982) kulit udang dan kepiting merupakan limbah pengolahan yang besarnya mencapai 50-60 % berat utuh, dengan kandungan khitin sebesar 20-30 %. Jika limbah ini dapat dimanfaatkan, maka selain dapat mengatasi masalah polusi perairan, juga akan memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan perikanan. Udang, misalnya dari total ekspor sebesar 91.176 ton akan dihasilkan limbah kulit dan kepala udang sebanyak 36.470 ton (Dirjen Perikanan, 1994). Sedangkan pengolahan kepiting menghasilkan limbah yang jumlahnya kira-kira separuh limbah udang tersebut. Limbah-limbah tersebut belum mengalami proses lanjutan.
    Sampai saat ini pemanfaatan limbah-limbah tersebut masih sangat terbatas. Pemanfaatannya antara lain untuk pembuatan petis, terasi, flavor, dan sebagai bahan pakan. Sesungguhnya limbah udang dan kepiting merupakan sumber khitin, khitosan dan karotenoid yang sangat potensial. Khitin dapat dioleh dari kulit udang dan cangkang kepiting dengan cara diisolasi menggunakan proses demineralisasi dan deproteinasi. Selanjutnya khitin tersebut dapat diproses lebih lanjut menjadi khitosan dengan proses destilasi. Sedangkan karotenoid terutama dalam bentuk karotenprotein (astaxantin) dapat diperoleh dari kulit udang dengan cara kimia menggunakan pelarut non polar dan minyak makan, serta cara enzimatis menggunakan enzim protease, misalnya tripsin.
    Khitin dan khitosan merupakan polimer karbohidrat yang mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan tambahan makanan yang berfungsi untuk mempertahankan tekstur makanan dan pengemulsi makanan yang baik. Di bidang kedokteran digunakan sebagai bahan untuk mempercepat penyembuhan luka, krim penghalus kulit dan sebagai bahan benang bedah. Karotenoid yang diekstrak nantinya dapat digunakan sebagai bahan aditif untuk produk perikanan, baik perikanan budidaya maupun ikan-ikan hias sehingga intensitas warnanya akan lebih baik.

    II. LIMBAH KRUSTACEA

    Menurut Johnson dan Peniston (1982) kulit udang dan kepiting merupakan limbah pengolahan yang besarnya mencapai 50-60 % berat utuh, dengan kandungan khitin sebesar 20-30 %. Jika limbah ini dapat dimanfaatkan, maka selain dapat mengatasi masalah polusi perairan, juga akan memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan perikanan.
    Komponen utama yang terdapat dalam limbah krustacea adalah protein, khitin dan mineral.
    Disamping itu terdapat pula sejumlah kecil protein berflavor, pigmen karotenoid, dan lemak. Sejauh ini produk-produk dalam limbah krustacea tersebut belum dimanfaatkan.
    Khitin adalah senyawa kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Khitosan dapat dihasilkan dari khitin dengan proses deasetilasi. Khitosan terutama digunakan dalam pemurnian air dan treatment air limbah. Juga digunakan untuk recovery protein dan mengikat logam-logam berat, pewarna dan pestisida. Khitosan digunakan dalam bidang kosmetik, komoditi pemeliharaan kesehatan, obat-obatan, pertanian dan pangan. Pada saat ini perkembangan pemakaian khitosan yang banyak mendapat perhatian adalah pembuatan obat-obatan yang dilepaskan secara lambat (slow release drugs), penyembuh luka, bahan penurun kolesterol dan bahan potensial untuk mencegah kerusakan flavor daging.
    III. KHITIN
    Khitin terbentuk dari komponen struktural kulit luar (cangkang) krustacea seperti kepiting dan udang (Lab. Protan, 1987). Menurut Rha (1984) khitin merupakan senyawa terbesar kedua di dunia setelah selulosa. Khitin banyak ditemukan pada kulit dan kepala hewan kelompok avertebrata berkulit keras (krustacea), serangga dan beberapa mikroorganisme. Knorr (1984) menyatakan bahwa dari sekian banyak sumber khitin dan khitosan, hanya kulit udang dan kepiting yang sudah dimanfaatkan secara komersial.
    Kulit udang dan rajungan merupakan limbah pengolahan udang dan rajungan yang mencapai 50%-60% berat utuh. Kandungan khitin pada limbah udang dan rajungan sebesar 20%-30% (berat kering). Khitin dapat ditemukan pada limbah udan dan rajungan masing-masing sebesar 13%-15% dan 14%-17% (berat kering) tergantung jenis spesies. Khitin dapat juga diekstrasi dari limbah fermentasi asam strat oleh Aspergillus niger. Dari 40.000 ton limbah industri dengan menggunakan kapang, mampu menghasilkan 10.000 ton khitin.
    Khitin merupakan biopolimer polisakarida dengan rantai lurus, yang tersusun dari 2000 - 3000 monomer N-asetil-D-glukosamin, monomer-monomer tersebut tersusun dengan ikatan β-1,4. Khitin berbentuk kristal, tidak larut dalam pelarut biasa, tetapi larut dalam larutan asam kuat (Bastaman, 1989). Ornum (1992) menyatakan bahwa khitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer dan asam-asam aorganik, tetapi larut dalam dimetil asetamida dan lithium klorida.
    Sifat lain dari khitin adalah mampu mengikat logam seperti Fe, Cu, Cd dan Hg, serta mempunyai sifat adsorpsi. Khitin sulit dicerna oleh tubuh, dapat mengikat racun, kolesterol dan glukosa dalam tubuh (Ditjen Perikanan, 1989).
    Khitin dari kulit krustacea tidak terdapat dalam keadaan murni, tetapi mengandung bahan mineral atau kalsium krbonat dan protein (Blair dan Ho, 1980). Dalam proses pembuatannya khitin diisolasi atau diekstrak bahan baku dengan memisahkan mineral (demineralisasi) dan protein (deproteinasi). 

    Deproteinasi dapat dilakukan sebelum dan sesudah demineralisasi. Deprotainasi akan dilakukan lebih dulu apabila protein yang terlarut akan dimanfaatkan lebih lanjut (Knorr, 1984).
    Secara umum larutan NaOH 2 - 3 % dengan suhu 63-65 oC dan waktu 1 - 2 jam dapat mengurangi kadar protein dalam kulit krustacea secara efektif (Bough, 1975; Johnson dan peniston, 1982; Knorr, 1984).

    Kalsium karbonat lebih mudah dipisahkan dibandingkan dengan protein, karena hanya terikat secara fisik. Knorr (1984) menyatakan bahwa HCl dengan konsentrasi lebih dari 10 % secara efektif dapat melarutkan Kalsium klorida dalam kulit krustacea.
    Khitin Berbentuk kristal, tidak larut dalam pelarut biasa tetapi larut dalam larutan asam kuat. Khitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer dan asam-asam organic tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan lithium klorida.
    Khitin mempunyai tekstur yang baik, warna yang lebih putih, protein dan mineral yang tidak terlalu tinggi. Salah satu sifat dari khitin adalah dapat mengikat ion logam (chelates metal ions) seperti Fe, Cu, Cd, Hg, serta mempunyai sifat adsorpsi. Khitin sulit dicerna oleh tubuh karena berupa polimer glukosa, namun dapat mengikat racun dan glukosa di dalam tubuh. Glukosa yang terdapat pada khitin tidak berubah menjadi glukosa darah sehingga tidak menambah produksi kolestrol. 

    IV. KHITOSAN
    Khitosan merupakan produk deasetilasi khitin, yang merupakan polimer rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksi-glokosa) (Knorr, 1982). Khitosan dapat larut dalam larutan asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya seperti dimetil sulkfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5, sedangkan pelarut khitosan yang baik adalah asam asetat (Ornum, 1992). Sedangkan Lab. Protan (1987) menyatakan bahwa khitosan merupakan poliglukosamin yang dapat larut dalam kebanyakan asam seperti asam asetat, laktat atau asam-asam organik (adipat, malat), asam mineral seperti HCl, HNO3, pada konsentrasi 1 % dan mempunyai daya larut terbatas dalam asam posfat dan tidak larut dalam asam sulfat.
    Khitosan mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amina, sehingga mempunyai derajat reaksi kimia yang tinggi (Johnson dan Peniston, 1975). Menurut Muzarelli (1985) khitosan akan bermuatan positif dalam larutan karena adanya gugus amina, tidak seperti polisakarida lainnya yang pada umumnya bermuatan negatif atau netral.
    Khitosan mempunyai potensi untuk digunakan dalam industri dan kesehatan. Kualitas khitosan tergantung pada penggunaannya, misalnya khitosan yang digunakan untuk proses pemurnian air limbah tidak membutuhkan bahan dengan kemurnian yang tinggi, sedangkan jika digunakan untuk obat-obatan, dibutuhkan khitosan dengan kemurnian yang tinggi (Bastaman, 1989).
    Pembuatan khitosan dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil (-COCH3) dari khitin dengan larutan alkali (Whistler, 1973; Johnson dan Peniston, 1982). Khitin mempunyai struktur kristal yang panjang dengan ikatan yang kuat antara atom nitrogen dan gugus asetil. Oleh karena itu pada proses deasetilasi digunakan larutan sodium hidroksida konsentrasi tinggi (40 - 50 %) dan temperatur tinggi (100 - 150 oC) untuk mendapatkan khitosan dari khitin.
    V. PEMANFAATAN KHITIN DAN KHITOSAN
    Cangkang atau karapas udang merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan atau diolah. Pengolahan cangkang udang yang dapat memberi nilai tambah dapat dilakukan dengan menjadikannya sebagai serbuk, yang kemudian diolah lebih lanjut menjadi kitin dan kitosan yang merupakan bahan industri bernilai ekonomi tinggi. Produk-produk tersebut dapat digunakan untuk keperluan kosmetika, industri pangan, pertanian dan pengelolaan lingkungan. Kitosan juga digunakan sebagai makanan kesehatan antara lain untuk menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengikat lemak makanan yang masuk ke dalam tubuh.. Berikut diuraikan beberapa penggunaan khitin dan khitosan.
    1. Dalam bidang kesehatan
    Lensa kontak, baik yang “hard lens” maupun yang “soft lens” dapat dibuat dari polimer khitin karena khitin mempunyai sifat permabilitas yang tinggi terhadap oksigen. Selain itu pula, khitin dan khitosan dapat digunakan sebagai pembungkus kapsul karena mampu melepaskan obatnya ke dalam tubuh secara terkontrol. Beberapa turunan khitosan telah ditemukan mempunyai sifat antibacterial dan antikogulan dalam darah. Kemampuan lain dari khitin dan turunannya adalah dalam hal penggumpalan sel-sel leukemia, sehingga khitin dan turunannya ini cocok sebagai bahan anti tumor. Senyawa khitosan diusulkan untuk digunakan sebagai bahan pembuat membran ginjal buatan..
    Dalam bidang kedokteran telah memmanfaatkan khitin dan khitosan secara maksimal, hal ini terbukti dari bebrapa penelitian yang tengah dilakukan, misalnya kemungkinan khitin digunakan sebagai bahan obat anti kolestrol. Khitosan pun bersifat “non trombogenic” (tidak menggumpalkan darah), sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengganti tulang rawan dan pengganti saluran darah (baik arteri mauipun vena). Khitin dan khitosan dapat digunakan sebagai pembungkus kapsul karena mampu melepaskan obatnya ke dalam tubuh secara terkontrol.
    Beberapa turunan khitosan telah ditemukan mempunyai sifat antibakterial dan antikoagulan darah. Kemampuan lain dari khitin adalah kemampuannya untuk menggumpalkan sel-sel leukimia, sehingga khitin dan turunannya ini cocok sebagai bahan anti tumor. Senyawa khitosan juga diusulkan untuk digunakan sebagai bahan pembuat ginjal buatan.
    2. Dalam bidang industri pangan
    Senyawa kompleks mikrokristalin khitin (MCC) adalah salah satu turunan khitin yang banyak digunakan dalam industri pangan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik dan juga bermanfaat sebagai pengikat, penstabil dan pembuntuk tekstur (Brezski, 1987).
    Menurut Brezski (1987), Khitosan dapat pula dimanfaatkan sebagai penyaring yang efektif terhadap zat-zat yang tidak diinginkan seperti tanin pada kopi, disamping itu, khitosan juga mampu memurnikan bir, juice, anggur dan lain sebagainya (Knorr, 1984).
    3. Dalam Bidang Industri
    Apilikasi khitin dan khitosan yang paling luas penggunaanya adalah dalam pengolahan limbah cair. Di jepang, khitosan digunakan secara resmi sebagai bahan penggumpalan dalam sirkulasi pengolahan air limbah yang akan digunakan kembali (“recycling”) dalam industri pangan.
    Selanjutnya Knorr (1984) menerangkan tentang tiga hal penting untuk apilikasi khitin dan khitosan dimasa mendatang, yaitu (1) sebagai bahan yang digunakan dalam proses water treatment, (2) sebagai bahan yang bersifat fungsional digunakan dalam industri pangan dan (3) sebagi polimer hasil temuan baru yang bergunakan dalam bidang bioteknologi polimer.

    VI. PROSES PRODUKSI KITIN DAN KITOSAN

    Sebelum diolah menjadi kitosan, cangkang udang terlebih dahulu diolah menjadi kitin. Teknologi proses produksi untuk memperoleh kitin dilakukan melalui proses deproteinasi, delipidasi dan demineralisasi (penghilangan protein, lemak dan mineral dari kulit atau cangkang udang), sehingga diperoleh kitin. Selanjutnya dilakukan proses deasetilasi agar diperoleh kitosan yang memenuhi syarat-syarat industri. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi proses produksi adalah ukuran serbuk atau tepung cangkang udang, lama dan kecepatan pengadukan, suhu proses, dan urutan proses. Secara alami kitin terdapat pada kulit udang sekitar 17%(db).
    Produksi Kitin
    1. Cangkang udang windu dibersihkan, dikeringkan dan ditepungkan sampai ukuran butir tepung maksimal 0,5 mm.
    2. Kemudian dilakukan proses demineralisasi dengan menambahkan HCl 5% pada tepung cangkang udang sambil dipanaskan pada suhu 60-70 oC sampai gas CO2 yang terbentuk habis sempurna (tidak bergelembung lagi).
    3. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan air sampai netral (pH menjadi sekitar 7.0) dan disaring.
    4. Tepung cangkang hasil penyaringan kemudian dicampurkan lagi dengan NaOH 5%, dipanaskan pada 60-70 oC sambil diaduk selama 1 jam, kemudian disaring lagi. Hasil saringan dicuci dengan air sampai pH 10, dinetralkan dengan HCl dan cuci dengan air kembali, selanjutnya disaring dan dikeringkan pada oven suhu 50 - 55 oC selama 24 jam. Produk yang diperoleh disebut kitin, berupa tepung berwarna putih kemerahan.
    Produksi Kitosan
    Kitin yang diperoleh dapat diproduksi menjadi kitosan dengan cara sebagai berikut :
    1. Kitin dimasukkan ke dalam tangki berkondensor, tambahkan NaOH 50% 10 kali beratnya, lalu direfluks (dididihkan pada tangki berkondensor) selama 2 jam pada suhu 116-120 oC sambil diaduk.
    2. Selanjutnya disaring dan dicuci dengan air sampai pH 8 - 10, ditambah HCl 5% sampel semuanya terendam dan dipanaskan pada suhu 60-70 oC selama 1 jam.
    3. Hasilnya cuci kembali sampai netral dengan air dan dikeringkan dalam oven 50-55 oC selama 24 jam.
    4. Hasilnya berupa kitosan dengan kadar N-deasetilasi lebih dari 85%.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © - Maggie's Blog

    Maggie's Blog - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan